Meluncurlah aku dengan motor Honda ke sebuah rumah di salah satu kompleks di Jakarta. Vannesa memang kariernya sedang naik daun, dan dia banyak melakukan meeting akhir-akhir ini. Cerita Seks Ngentot Dengan Kakak Pacarku Aku sih sudah punya posisi lumayan di kantor.
Hanya saja, kemacetan di kota ini begitu parah, jadi lebih baik beli motor saja dari pada beli mobil. Vannesa pun tak keberatan mengarungi pelosok-pelosok kota dengan motor bersamaku.
Kebetulan, pekerjaanku di sebuah biro iklan membuat aku bisa pulang di tengah hari, tapi bisa juga sampai menginap di kantor jika ada proyek yang harus digarap habis-habisan. Vannesa, pacarku, mendapat fasilitas antar jemput dari kantornya. Jadi, aku bisa tenang saja pergi ke rumahnya tanpa perlu menjemputnya terlebih dulu.
Sesampai di rumahnya, pagar rumah masih tertutup walau tidak terkunci. Aku mengetok pagar, dan keluarlah Mita, kakak Vannesa, untuk membuka pintu.
“Loh, enggak kerja?” tanyaku.
“Nggak, aku izin dari kantor mau ngurus paspor,” jawabnya sambil membuka pintu pagarnya yang berbentuk rolling door lebar-lebar agar motorku masuk ke dalam.
“Nyokap ke mana?” tanyaku lagi.
“Oh, dia lagi ke rumah temannya tuh, ngurusin arisan,” kata Mita, “Kamu mau duduk di mana Imuz? Di dalam nonton TV juga boleh, atau kalau mau di teras ya enggak apa juga. Bentar yah, saya ambilin minum.”
Setelah motor parkir di dalam pekarangan rumah, kututup pagar rumahnya. Aku memang akrab dengan kakak Vannesa ini, umurnya hanya sekitar dua tahun dari umurku. Yah, aku menunggu di teras sajalah, canggung juga rasanya duduk nonton TV bersama Mita, apalagi dia sedang pakai celana pendek dan kaos oblong.
Setelah beberapa lama menunggu Vannesa di teras rumah, aku celingukan juga tak tahu mau bikin apa. Iseng, aku melongok ke ruang tamu, hendak melihat acara televisi.
Wah, ternyata mataku malah terpana pada paha yang putih mulus dengan kaki menjulur ke depan. Kaki Mita ternyata sangat mulus, kulitnya putih menguning.
Mita memang sedang menonton TV di lantai dengan kaki berjelonjor ke depan. Kadang dia duduk bersila. Baju kaosnya yang tipis khas kaos rumah menampakkan tali-tali BH yang bisa kutebak berwarna putih.
Aku hanya berani sekali-kali mengintip dari pintu yang membatasi teras depan dengan ruang tamu, setelah itu barulah ruang nonton TV. Kalau aku melongokkan kepalaku semua, yah langsung terlihatlah wajahku.
Tapi rasanya ada keinginan untuk melihat dari dekat paha itu, biar hanya sepintas. Aku berdiri.
“Ta, ada koran enggak yah,” kataku sambil berdiri memasuki ruang tamu.
“Lihat aja di bawah meja,” katanya sambil lalu.
Saat mencari-cari koran itulah kugunakan waktu untuk melihat paha dan postur tubuhnya dari dekat. Ah, putih mulus semua. Buah dada yang pas dengan tubuhnya. Tingginya sekitar 160 cm dengan tubuh langsing terawat, dan buah dadanya kukuh melekat di tubuh dengan pasnya.
“Aku ingin dada itu,” kataku membatin. Aku membayangkan Mita dalam keadaan telanjang. Ah, ‘adikku’ bergerak melawan arah gravitasi.
“Heh! Kok kamu ngeliatin saya kayak gitu?! Saya bilangin Vannesa lho!,” Mita menghardik.
Dan aku hanya terbengong-bengong mendengar hardikannya. Aku tak sanggup berucap walau hanya untuk membantah. Bibirku membeku, malu, takut Mita akan mengatakan ini semua ke Vannesa.
“Apa kamu melotot begitu, mau ngancem?! Hah!”
“Astaga, Mita, kamu.. kamu salah sangka,” kataku tergagap. Jawabanku yang penuh kegamangan itu malah membuat Mita makin naik pitam
“Saya bilangin kamu ke Vannesa, pasti saya bilangin!” katanya setengah berteriak. Tiba-tiba saja Mita berubah menjadi sangar. Kekalemannya seperti hilang dan barangkali dia merasa harga dirinya dilecehkan. Perasaan yang wajar kupikir-pikir. Klik Disini
“Mita, maaf, maaf. Benar-benar enggak sengaja saya. saya enggak bermaksud apa-apa,” aku sedikit memohon.
“Ta, tolong dong, jangan bilang Vannesa, kan cuma ngeliatin doang, itu juga enggak sengaja. Pas saya lagi mau ngambil koran di bawah meja, baru saya liat elu,” kataku mengiba sambil mendekatinya.
Mita malah tambah marah bercampur panik saat aku mendekatinya.
“Kamu ngapain nyamperin saya?! Mau ngancem? Keluar kamu!,” katanya garang. Situasi yang mencekam ini rupanya membuatku secara tidak sengaja mendekatinya ke ruang tamu, dan itu malah membuatnya panik.
“Duh, Ta, maaf banget nih. Saya enggak ada maksud apa-apa, beneran,” kataku.
Namun, situasi telah berubah, Mita malah menganggapku sedang mengancamnya. Ia mendorong dadaku dengan keras. Aku kehilangan keseimbangan, aku tak ingin terjatuh ke belakang, kuraih tangannya yang masih tergapai saat mendorongku.
Raihan tangan kananku rupanya mencengkeram erat di pergelangan tangan kirinya. Tubuhnya terbawa ke arahku tapi tak sampai terjatuh, aku pun berhasil menjaga keseimbangan. Namun, keadaan makin runyam.
“Eh! kamu kok malah tangkep tangan saya! Mau ngapain kamu? Lepasin enggak!!,” kata Mita.
Entah mengapa, tangan kananku tidak melepaskan tangan kirinya. Mungkin aku belum sempat menyadari situasinya. Merasa terancam, Mita malah sekuat tenaga melayangkan tangan kanannya ke arah mukaku, hendak menampar.
Aku lebih cekatan. Kutangkap tangan kanan itu, kedua tangannya sudah kupegang tanpa sengaja. Kudorong dia dengan tubuhku ke arah sofa di belakangnya, maksudku hanya berusaha untuk menenangkan dia agar tak mengasariku lagi. Tak sengaja, aku justru menindih tubuh halus itu.
Mita terduduk di sofa, sementara aku terjerembab di atasnya. Untung saja lututku masih mampu menahan pinggulku, namun tanganku tak bisa menahan bagian atas tubuhku karena masih mencengkeram dan menekan kedua tangannya ke sofa.
Jadilah aku menindihnya dengan mukaku menempel di pipinya. Tercium aroma wangi dari wajahnya, dan tak tertahankan, sepersekian detik bibirku mengecup pipinya dengan lembut.
Tak ayal, sepersekian detik itu pula Mita meronta-ronta. Mita berteriak, “Lepasin! Lepasin!” dengan paraunya. Waduh, runyam banget kalau terdengar tetangga. Yang aku lakukan hanya refleks menutup mulutnya dengan tangan kananku. Mita berusaha memekik, namun tak bisa.
Yang terdengar hanya, “Hmm!” saja. Namun, tangannya sebelah kiri yang terbebas dari cengkeramanku justru bergerak liar, ingin menggapai wajahku.
Hah! Tak terpikir, posisiku ini benar-benar seperti berniat memperkosa Mita. Dan, Mita sepertinya pantas untuk diperkosa. Separuh tubuhnya telah kutindih. Dia terduduk di sofa, aku di atasnya dengan posisi mendudukinya namun berhadapan.
Kakinya hanya bisa meronta namun tak akan bisa mengusir tubuhku dari pinggangnya yang telah kududuki. Tangan kanannya masih dalam kondisi tercengkeram dan ditekan ke sofa, tangan kirinya hanya mampu menggapai-gapai wajahku tanpa bisa mengenainya, mulutnya tersekap.
Tubuh yang putih itu dengan lehernya yang jenjang dan sedikit muncul urat-urat karena usaha Mita untuk memekik, benar-benar membuatku dilanda nafsu tak kepalang.
Aku berpikir bagaimana memperkosanya tanpa harus melakukan berbagai kekerasan seperti memukul atau merobek-robek bajunya. Dasar otak keparat, diserang nafsu, dua tiga detik kemudian aku mendapatkan caranya.
Tanpa diduga Mita, secepat kilat kulepas cengkeraman tanganku dari tangan dan mulutnya, namun belum sempat Mita bereaksi, kedua tanganku sudah mencengkeram erat lingkaran celana pendeknya dari sisi kiri dan kanan, tubuhku meloncat mundur ke belakang.
Kaki Mita yang meronta-ronta terus ternyata mempermudah usahaku, kutarik sekeras-kerasnya dan secepat-cepatnya celana pendek itu beserta celana dalam pinknya. Karena kakinya meronta terus, tak sengaja dia telah mengangkat pantatnya saat aku meloncat mundur. Celana pendek dan celana dalam pink itu pun lolos dengan mudahnya sampai melewat dengkul Mita.
Astaga! Berhasil!
Mita jadi setengah bugil. Satu dua detik Mita pun sempat terkejut dan terdiam melihat situasi ini. Kugunakan kelengahan itu untuk meloloskan sekalian celana pendek dan celana dalamnya dari kakinya, dan kulempar jauh-jauh.
Mita sadar, dia hendak memekik dan meronta lagi, namun aku telah siap. Kali ini kubekap lagi mulutnya, dan kususupkan tubuhku di antara kakinya. Posisi kaki Mita jadi menjepit tubuhku, karena dia sudah tak bercelana, aku bisa melihat vaginanya dengan kelentit yang cukup jelas. Jembutnya hanya menutupi bagian atas vagina. Mita ternyata rajin merawat alat genitalnya.
Pekikan Mita berhasil kutahan. Sambil kutekan kepalanya di sandaran sofa, aku berbisik,
“Mita, kamu sudah kayak gini, kalau kamu teriak-teriak dan orang-orang dateng, percaya enggak orang-orang kalau kamu lagi saya perkosa?”
Mita tiba-tiba melemas. Dia menyadari keadaan yang saat ini berbalik tak menguntungkan buatnya. Kemudian dia hanya menangis terisak. Kubuka bekapanku di mulutnya, Mita cuma berujar sambil mengisak,
“Imuz, saya mohon... Jangan diapa-apain saya. Ampun, Di. saya enggak akan bilang Vannesa. Beneran.”
Namun, keadaan sudah kepalang basah, syahwatku pun sudah di ujung tanduk rasanya. Aku menjawabnya dengan berusaha mencium bibirnya, namun dia memalingkan mukanya. Tangan kananku langsung saja menelusup ke selangkangannya. Mita tak bisa mengelak. Domino Online
Ketika tanganku menyentuh halus permukaan vaginanya, saat itulah titik balik segalanya. Mita seperti terhipnotis, tak lagi bergerak, hanya menegang kaku, kemudian mendesis halus tertahan. Dia pun pasti tak sengaja mendesah.
Seperti mendapat angin, aku permainkan jari tengah dan telunjukku di vaginanya. Aku permainkan kelentitnya dengan ujung-ujung jari tengahku. Mita berusaha berontak, namun setiap jariku bergerak dia mendesah. Desahannya makin sulit ditutupi saat jari tengahku masuk untuk pertama kali ke dalam vaginanya. Kukocokkan perlahan vaginanya dengan jari tengahku, sambil kucoba untuk mencumbu lehernya.
“Jangan Muz,” pintanya, namun dia tetap mendesah, lalu memejamkan mata, dan menengadahkan kepalanya ke langit-langit, membuatku leluasa mencumbui lehernya. Dia tak meronta lagi, tangannya hanya terkulai lemas. Sambil kukocok vaginanya dan mencumbui lehernya, aku membuka resleting celanaku.
“Adik”-ku ini memang sudah menegang sempurna sedari tadi, namun tak sempat kuperlakukan dengan selayaknya. Karena tubuhku telah berada di antara kakinya, mudah bagiku untuk mengarahkan penisku ke vaginanya.
Mita sebetulnya masih dalam pergulatan batin. Dia tak bisa mengelak terjangan-terjangan nafsunya saat vaginanya dipermainkan, namun ia juga tak ingin kehilangan harga diri. Jadilah dia sedikit meronta, menangis, namun juga mendesah-desah tak karuan.
Aku bisa membaca situasi ini karena dia tetap berusaha memberontak, namun vaginanya malah makin basah. Ini tanda dia tak mampu mengalahkan rangsangan.
Penisku mengarah ke vaginanya yang telah becek, saat kepala penis bersentuhan dengan vagina, Mita masih sempat berusaha berkelit. Namun, itu semua sia-sia karena tanganku langsung memegangi pinggulnya. Dan, kepala penisku pun masuk perlahan. Vagina Mita seperti berkontraksi. Mita tersadar,
“Jangan..” teriaknya atau terdengar seperti rintihan.
Rasa hangat langsung menyusupi kepala penisku. Kutekan sedikit lebih keras, Mita sedikit menjerit, setengah penisku telah masuk.
Dan satu sentakan berikutnya, seluruh penisku telah ada di dalam vaginanya. Mita hanya memejamkan mata dan menengadahkan muka saja. Ia sedang mengalami kenikmatan tiada tara sekaligus perlawanan batin tak berujung. Kugoyangkan perlahan pinggulku, penisku keluar masuk dengan lancarnya. Terasa vagina Mita mengencang beberapa saat lalu mengendur lagi.
Tanganku mulai bergerilya ke arah buah dadanya. Mita masih mengenakan kaos rumah. Tak apa, toh tanganku bisa menyusup ke dalam kaosnya dan menyelinap di balik BH dan mendapati onggokan daging yang begitu kenyal dengan kulit yang terasa begitu halus.
Payudara Mita begitu pas di tanganku, tidak terlalu besar tapi tidak juga bisa dibilang kecil. Kuremas perlahan, seirama dengan genjotan penisku di vaginanya. Mita hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, tak mampu melakukan perlawanan. Pinggulnya ternyata mulai mengikuti goyangan pinggulku.
Aku buka kaos Mita, kemudian BH-nya, Mita menurut. Pemandangan setelah itu begitu indah. Kulit Mita putih menguning langsat dengan payudara yang kencang dan lingkaran di sekitar pentilnya berwarna merah jambu Pentil itu sendiri berwarna merah kecokelatan.
Tak menunggu lama, kubuka kemejaku. Aktivitas ini kulakukan sambil tetap menggoyang lembut pinggulku, membiarkan penisku merasai seluruh relung vagina Mita.
Sambil aku bergoyang, aku mengulum pentil di payudaranya dengan lembut. Kumainkan pentil payudara sebelah kanannya dengan lidahku, namun seluruh permukaan bibirku membentuk huruf O dan melekat di payudaranya. Ini semua membuat Mita mendesah lepas, tak tertahan lagi.
Aku mulai mengencangkan goyanganku. Mita mulai makin sering menegang, dan mengeluarkan rintihan, “Ah.. ah..”
Dalam goyangan yang begitu cepat dan intens, tiba-tiba kedua tangan Mita yang sedang mencengkeram jok kursi malah menjambak kepalaku.”Aaahh,” lenguhan panjang dan dalam keluar dari mulut mungil Mita.
Ia sampai pada puncaknya. Lalu tangan-tangan yang menjambak rambutku itu pun terkulai lemas di pundakku. Aku makin intens menggoyang pinggulku. Kurasakan penisku berdenyut makin keras dan sering.
Bibir Mita yang tak bisa menutup karena menahan kenikmatan itu pun kulumat, dan tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Mita membalasnya dengan lumatan juga. Kami saling berpagut mesra sambil bergoyang. Tangan kananku tetap berada di payudaranya, meremas-remas, dan sesekali mempermainkan putingnya.
Vagina Mita kali ini cukup terasa mencengkeram penisku, sementara denyut di penisku pun semakin hebat.
“Uhh,” aku mengejang. Satu pelukan erat, dan sentakan keras, penisku menghujam keras ke dalam vaginanya, mengiringi muncratnya spermaku ke dalam liang rahimnya.
Tepat saat itu juga Mita memelukku erat sekali, mengejang, dan menjerit, “Aahh”. Kemudian pelukannya melemas. Dia mengalami ejakulasi untuk kedua kalinya, namun kali ini berbarengan dengan ejakulasiku.
Mita terkulai di sofa, dan aku pun tidur telentang di karpet. Aku telah memperkosanya. Mita awalnya tak terima, namun sisi sensitif yang membangkitkan libidonya tak sengaja kudapatkan, yaitu usapan di vaginanya.
Ternyata, dia sudah pernah bercinta dengan kekasihnya terdahulu. Dia hanya tak menyangka, aku-pacar adiknya malah menjadi orang kedua yang menyetubuhinya.
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar